Gustavo Gutierrez dan Teologi Pembebasannya
Gustavo Gutierrez dan Teologi Pembebasannya – Teologi tidak sekedar dipahami sebagai studi dengan beragam teori yang ada di dalamnya. Namun, teologi pertama-tama adalah suatu bentuk refleksi iman yang dialami dan kemudian …
Gustavo Gutierrez dan Teologi Pembebasannya – Teologi tidak sekedar dipahami sebagai studi dengan beragam teori yang ada di dalamnya. Namun, teologi pertama-tama adalah suatu bentuk refleksi iman yang dialami dan kemudian dikembangkan menjadi suatu pemahaman dan menjadi suatu dinamika dan pembahasan dalam ranah studi. Ada banyak sekali tokoh teolog dari berbagai negara dan beragam latar belakang agama. Teologi menjadi suatu bentuk refleksi akan Tuhan dan ini bisa terinsipirasi oleh kejadian dan refleksi akan hidup yang dialami. Ini pula yang terjadi dalam Teologi Pembebasan.
Teologi ini menjadi salah satu pemahaman teologi yang berkembang sangat populer di masa modern ini. pemikiran teologis akan pembebasan ini lahir dari situasi yang terjadi di Amerika Latin. Titik tolak dari teologi ini adalah peristiwa yang dialami oleh orang-orang miskin di Amerika Selatan dan bagaimana mereka berjuang untuk hidup dan memperoleh pembebasan atas situasi yang mengungkung mereka. Tokoh utama di balik kemunculan Teologi Pembebasan ini adalah Gustavo Gutierrez. Gutierrez merupakan sosok imam dari ordo Dominikan. Imam ini berkarya di tengah orang-orang miskin di Amerika Selatan yang kemudian memantik refleksinya akan perjuangan dan pembebasan terhadap kemiskinan tersebut.
Gutierrez merefleksikan bahwa Allah pun hadir pula di tengah orang-orang miskin. Tidak saja di Amerika Selatan tapi juga di seluruh dunia. Allah tidak saja hadir di tengah orang miskin tapi juga hadir dalam diri orang-orang miskin itu sehingga melahirkan refleksi yang dikembangkan dan disuarakan oleh Gutierrez ke seluruh dunia. Dia menyebutkan bahwa iman haruslah suatu hal yang mampu membebaskan seseorang dalam ranah kehidupan sehari-harinya. Ini disebut dengan liberating praxis. Dengan refleksinya, Gutierrez menyadari bahwa iman akan mendorong orang untuk membebaskan dirinya dari dosa nyata yang terjadi, terutama dalam konteks pendindasan yang melahirkan ketidakadilan. Hal ini pun tidak lepas dari konteks orang-orang miskin yang dia jumpai. Oleh karena itu, iman haruslah menjadi daya dorong yang berpihak pada orang miskin. Ini menjadi salah satu landasan dari Teologi Pembebasan oleh Gutierrez yang kemudian dikenal dengan hal yang dia suarakan sebagai preferential option for the poor atau keberpihakan pada orang miskin. Hal ini pun mendapatkan sambutan baik dalam suatu Konferensi Perjuangan Gereja Amerika Latin pada 1979 di Puebla.
Bagi Gutierrez, teologi tidak semata menjadi suatu bentuk refleksi teoritis semata atas iman dengan pemahaman yang mengawang. Teologi tidak menjadi suatu hal yang bisa dipahami dan direfleksikan tanpa menyentuh bumi. Teologi tidaklah mengawang dan seharusnya menjadi suatu bentuk refleksi kritis yang membuatnya terlibat dalam beragam situasi nyata di dunia. Bahkan, Gutierrez juga mengatakan bahwa teologi haruslah mampu menjawab tantangan yang dialami oleh manusia secara nyata. Kemiskinan menjadi salah satu tantangan zaman paling nyata yang tidak saja dihadapi oleh Gereja tapi juga seluruh dunia.
Oleh karena itu, teologi pun perlu menjadi suaut bentuk nyata dari penghayatan iman atas kejadian nyata yang dialami oleh manusia. Refleksi dan pandangan Gustavo Gutierrez dalam Teologi Pembebasan ini pun membuat Gereja dan bahkan seluruh dunia semakin membuka mata akan situasi yang ada, terutama dalam hal kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami orang-orang.
Terkait dengan sosok Gustavo Gutierrez ini, dia adalah seorang imam yang lahir di Monserat. Dia tidak lahir di suatu kota besar tapi justru di suatu kawasan yang kumuh di kota Lima, Peru. Karena itu, kemiskinan menjadi hal yang sudah akrab baginya sejak awal masa kehidupannya. Gutierrez lahir pada 8 Juni 1928 dan merupakan seorang keturunan dari darah Spanyol dan darah Indian dari Amerika Latin. Orang-orang Indian dari Amerika Latin sendiri menjadi lambang ketertindasan yang ada di masa itu sehingga menjadi hal lain yang memantik kesadaran dan inspirasi bagi Gutierrez di masa dewasanya. Kemiskinan yang dia alami membuatnya sangat peka akan penderitaan orang lain tapi ini tidak lantas membuatnya terbelenggu oleh hal itu. Kenyataan yang dialaminya justru menjadi daya dorong untuk membuatnya ingin memberikan hidup lebih baik bagi keluarganya.
Gutierrez tidak saja lahir di wilayah yang serba terbatas. Dia pun mengidap penyakit osteomiletis. Penyakit ini membuatnya pincang secara permanen. Karena situasinya ini, Gutierrez bertekad untuk belajar di bidang farmasi dan kemudian studi di Universitas San Marco yang ada di Lima. Dengan studinya ini, ia ingin mendorong agar orang-orang yang sama seperti dirinya pun memiliki semangat yang sama untuk terbebas dari kondisi yang membelenggu mereka. Namun, Gutierrez tidak melanjutkan karir di bidang farmasi. Dia justru masuk ke Seminari Santiago de Chile dan belajar filsafat serta teologi. Dia melanjutkan studinya ke Louvain di Belgia hingga akhirnya meraih gelar master tidak saja dibidang filsafat tapi juga di dibidang psikologi. Perjalanan studinya masih berlanjut di Lyon hingga dia meraih gelar Ph.D di bidang teologi dan membuatnya menjadi teolog dan kemudian ditahbiskan di 6 Januari 1959 di Roma. Bahkan. Gutierrez sempat menjalani studi di Universitas Gregoriana sebelum akhirnya kembali ke Lima dan mengajar di universitas katolik di sana.
Dalam tugasnya sebagai pastor di Rimac, Lima, Gutierrez kembali menghadapi realita yang dia alami sejak masa kecilnya. Kemiskinan dan penderitaan umatnya membuatnya sadar bahwa teologi yang selama ini dia pelajari tidak lagi terasa cocok untuk gereja yang dia layani tersebut. Teologi yang dia pelajari dirasa kurang cocok karena tidak menyentuh langsung ke kehidupan orang-orang yang dia layani. Teologi Barat yang dia pelajari dirasa tidak benar-benar menyentuh kehidupan praktis. Padahal menurutnya, Sabda dan kebenaran iman yang direfleksikan harus benar-benar sampai ke praktik hidup nyata dalam keseharian. Suatu iman sungguh perlu dan mampu menggerakkan manusia untuk membebaskan dirinya dari belenggu kehidupan, terutama kemiskinan dan penderitaan. Inilah yang kemudian memantik Gutierrez dengan Teologi Pembebasannya.